Dalam perkembangan ulumul Qur'an, para mufasir belakangan ini membuat
rumusan-rumusan agar para pengkaji al-Qur'an tidak terjebak dalam kesalahan
dan memudahkan untuk memberikan penalaran. Rumusan-rumusan ini yang kemudian
disebut kaidah tafsir.
Salah satu kitab yang memuat kaidah-kaidah tafsir adalah kitab berjudul
"Qawaid at-Tafsir Jam'an wa Dirasatan" karya Khalid Usman Sabt. Dalam
kitab ini, disebutkan banyak kaidah-kaidah yang disusun sesuai bab-bab
pilihan yang terkait.
Artikel ini berisi terjemahan kaidah-kaidah tafsir yang terdapat dalam kitab
karya Khalid Usman Sabt yang tentunya tidak diterjemahkan semua. Untuk membaca
versi lengkap, silakan membaca kitab aslinya langsung. Artikel ini menyebutkan
hanya 100 kaidah tafsir.
Kaidah 1: Informasi tentang asbâb al-nuzûl harus didasarkan atas periwayatan
dan pendengaran langsung.
Kaidah 2: Sabab nuzul harus berdasarkan hadis marfû‘.
Kaidah 3: Ayat Al-Qur’an adakalanya turun bersamaan dengan ketetapan hukum,
adakalanya mendahuluinya, atau sebaliknya.
Kaidah 4: Pada dasarnya ayat tidak turun berulang-ulang.
Kaidah 5: Adakalanya sabab nuzul satu sedangkan ayat yang turun banyak, atau
sebaliknya.
Kaidah 6: Apabila riwayat dalam sabab nuzul lebih dari satu, maka riwayat
yang diambil adalah riwayat yang tsubut, shahih, dan sharih.
Kaidah 7: Makkiyyah dan Madaniyyah diketahui dari riwayat orang-orang yang
menyaksikan turunnya ayat.
Kaidah 8: Pemahaman surah-surah Madaniyyah didasarkan atas surah-surah
Makkiyyah. Begitu juga surah-surah Makkiyyah antara sesamanya serta
surah-surah Madaniyyah antara sesamanya, pemahamannya ditentukan urutan
turunnya.
Kaidah 9: Qirâ’at yang sahih harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab, sesuai
dengan salah satu Mushaf ‘Ustmani dan sanadnya sahih.
Kaidah 10: Jika ayat dibaca dengan beberapa qirâ’at yang berbeda, maka
setiap qirâ’at dianggap ayat.
Kaidah 11: Jika dua qirâ’at berbeda makna, tetapi tidak jelas kontradiksi
antara keduanya, sedangkan keduanya mengacu kepada hakikat yang sama, maka
kedua qirâ’at itu saling melengkapi.
Kaidah 12: Qirâ’at-qirâ’at itu saling menjelaskan satu sama lain.
Kaidah 13: Qirâ’at syâdzdzah jika sanadnya sahih dapat diterima sebagai
hadis âhâd.
Kaidah 14: Qirâ’at syâdzdzah yang bertentangan dengan qirâ’at mutawâtir dan
tidak mungkin disatukan, tidak diterima.
Kaidah 15: Qirâ’at, jika jelas (dari Nabi), adalah sunnah yang wajib
diikuti. Karena itu kaidah bahasa Arab dan kepopulerannya tidak dapat
membatalkannya.
Kaidah 16: Basmalah turun bersama surah tertentu menurut beberapa “ahruf
sab‘ah”. Karena itu siapa yang membacanya dengan huruf yang ia turun
dalamnya itu, ia dihitung (sebagai ayat). Dan siapa yang membacanya tidak
dengan huruf itu, ia tidak dihitung.
Kaidah 17: Bila ada dua qirâ’at (yang sama-sama kuat), maka tidak boleh ada
pentarjihan salah satunya. Apabila ada dua i‘rab yang berbeda, maka salah
satu i‘rab tidak boleh dipandang lebih baik daripada i‘rab yang lain.
Kaidah 18: Urutan ayat-ayat Al-Qur’an seluruhnya tauqifi, sedangkan urutan
surah tidak demikian.
Kaidah 19: Tafsir itu berdasarkan penukilan yang pasti atau berdasarkan
pemikiran yang benar. Selain itu salah.
Kaidah 20: Bila tafsir dari Nabi saw. jelas ada, pendapat apa pun setelah
itu tidak diperlukan.
Kaidah 21: Kata-kata Syari‘ dibawa kepada makna syariat, bila tidak bisa,
dibawa ke makna budaya, dan bila tidak bisa, dibawa ke makna bahasa.
Kaidah 22: Pendapat sahabat didahulukan dari tafsir lainnya, sekalipun
lahiriah ungkapan ayat tidak menunjuk pendapat itu.
Kaidah 23: Bila salaf berbeda pendapat mengenai tafsir ayat, siapa pun
setelah mereka tidak boleh memunculkan pendapat ketiga yang berbeda.
Kaidah 24: Pemahaman salaf mengenai Al-Qur’an jadi hujah yang dipedomani
bukan yang memedomani.
Kaidah 25: Dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan bahasa perlu diperhatikan
maknanya yang lazim, lebih dikenal, dan resmi, bukan makna yang jarang atau
sedikit keterpakaiannya.
Kaidah 26: Ayat-ayat Al-Qur’an diperlakukan sesuai dengan kapasitas
berbahasa kaum ummî.
Kaidah 27: Setiap makna yang diambil dari Al-Qur’an yang tidak sesuai dengan
bahasa Arab tidak dipandang ilmu tentang Al-Qur’an sedikit pun.
Kaidah 28: Kosakata Al-Qur’an tidak boleh digiring maknanya kepada
terminologi baru.
Kaidah 29: Al-Qur’an dalam bahasa Arab, karena itu perlu ditempuh cara-cara
istinbath dan istidlal Arab dalam menetapkan maknanya.
Kaidah 30: Bila dimungkinkan menyambungkan frasa dengan frasa berikutnya
atau dengan padanannya, hal itu lebih baik.
Kaidah 31: Fi‘l mudhâri‘ yang disebut sesudah lafal كان menunjukkan bahwa
perbuatan itu selalu terulang dan terus-menerus terjadi.
Kaidah 32: Kalimat nominal menunjukkan keterus-menerusan dan konstan,
kalimat verbal menunjukkan keberubah-ubahan.
Kaidah 33: Ism tafdhîl tidak selalu mengandung makna perbandingan, tetapi
juga penggambaran (deskripsi).
Kaidah 34: Makna kata kerja dipahami berdasarkan kata depan yang
mentransitifkannya.
Kaidah 35: Mengiringi kalimat dengan mashdar memaknakan pengagungan atau
celaan.
Kaidah 36: Bagian tubuh yang tunggal manusia, bila digabungkan dengan yang
sama dengannya, boleh berlaku padanya tiga bentuk: jamak, itulah yang banyak
terpakai dan lebih baik, dual, atau tunggal.
Kaidah 37: Pengalihan objek pembicaraan (iltifât) diperlukan untuk menarik
perhatian dan penajaman makna.
Kaidah 38: Bila konteks ayat mengenai masalah tertentu, sedangkan Allah
ingin menetapkan hukumnya dan hukum yang lainnya, maka Allah menyampaikannya
dalam bentuk hukum umum.
Kaidah 39: Kewajiban diungkapkan dengan mashdar marfû‘ dan anjuran
diungkapkan dengan mashdar manshûb.
Kaidah 40: Nakirah dalam Al-Qur’an karena berbagai alasan.
Kaidah 41: Mengungkapkan peristiwa masa lampau dengan bentuk kata kerja
mudhari‘ gunanya untuk menggambarkan situasi sebenarnya ketika peristiwa
terjadi.
Kaidah 42: Mengungkapkan dengan kata kerja masa lampau untuk peristiwa yang
akan terjadi demi menegaskan bahwa peristiwa itu pasti terjadi.
Kaidah 43: Jika Allah telah menunjukkan wajibnya sesuatu pada satu tempat,
maka yang demikian itu tidak memerlukan pengulangannya ketika menyebutkan
masalah serupa dengannya sampai ada dalil yang mengubahnya.
Kaidah 44: Dalam bahasa Arab, khususnya dalam hal waktu, tidak terhalang
digunakannya suatu waktu sedangkan yang dimaksud sebagiannya.
Kaidah 45: Penyebutan jumlah (bilangan) untuk laki-laki dan perempuan.
Kaidah 46: Yang disebutkan mukhatab (orang kedua), tetapi makna yang
dikandungnya tidak hanya mukhatab itu, tetapi juga yang ghaib (orang
ketiga).
Kaidah 47: Pekerjaan adakalanya disandarkan kepada pihak yang terdapat di
dalamnya, tetapi penyebabnya bukanlah pihak yang terdapat di dalamnya itu.
Dan pekerjaan adakalanya disandarkan kepada penyebabnya, tetapi penyebab
yang sesungguhnya pihak lain.
Kaidah 48: Biasa dalam bahasa Arab kata kerja diubah pengaitannya bila
maksud sudah dimaklumi.
Kaidah 49: Yang tak berakal disapa dengan sapaan untuk yang berakal bila
kepadanya disandarkan pekerjaan yang berakal.
Kaidah 50: Biasa dalam bahasa Arab: (1) Memasukkan ال pada predikat ما dan
الذي bila predikat itu sudah tertentu dan sudah dikenal oleh pembicara dan
lawan bicara; (2) Predikatnya boleh tanpa ال bila predikat itu tidak
dikenal, tidak tertentu, dan tidak pula dimaksudkan untuk ditujukan kepada
sesuatu secara khusus.
Kaidah 51: Dalam bahasa Arab biasa kalimat perintah maknanya balasan.
Kaidah 52: Kata kadang-kadang terlihat berkaitan dengan kata lain, tetapi
maknanya malah sebaliknya.
Kaidah 53: Biasa dalam bahasa Arab, perbuatan leluhur disandarkan kepada
anak cucu, dan anak cucu disapa dan disandarkan kepada mereka perbuatan
leluhur.
Kaidah 54: Yang disebutkan satu orang, tetapi yang dimaksud adalah jamak dan
sebaliknya. Yang disebut satu orang, tetapi yang dimaksud tidak hanya yang
satu orang itu, tetapi juga yang lainnya. Yang disebut lain dengan yang
dimaksud.
Kaidah 55: Zhahir diletakkan pada tempat dhamir atau sebaliknya karena ada
urgensinya.
Kaidah 56: Tidak ada tambahan (ziyadah) apa pun dalam Al-Qur’an.
Kaidah 57: Bertambah bentuk bertambah pula makna.
Kaidah 58: Jika jawaban tidak disebutkan maka sebelumnya disebutkan sesuatu
yang menunjukkan jawaban itu.
Kaidah 59: Dibuangnya jawab syarat menunjukkan adanya ancaman yang besar dan
hebat.
Kaidah 60: Kalimat sebenarnya memerlukan disebutkannya dua pihak, tetapi
disebut salah satunya saja karena itulah yang dimaksud.
Kaidah 61: Adakalanya situasi menghendaki disebutkannya kedua kata yang
berpasangan atau berkaitan makna, tetapi yang disebut cukup salah satunya
saja.
Kaidah 62: Lebih dahulu disebutkan tidak berarti lebih dahulu pula
terjadinya dan hukumnya.
Kaidah 63: Setiap kata depan yang maknanya jelas kemudian digunakan untuk
makna lain, maka makna kata depan itu tidak terlepas secara keseluruhan dari
makna asalnya itu.
Kaidah 64: Bila مِنْ ditempatkan sebelum mubtada’, fa‘il, atau maf‘ul bih,
gunanya adalah untuk menekankan penegasian, menambah penyangkalan, atau
menyatakan keumuman.
Kaidah 65: Bila إذ ditempatkan setelah اذكر, maknanya adalah perintah adanya
peristiwa yang jarang terjadi yang diperhatikan.
Kaidah 66: Penempatan قد pada mudhari‘ yang dinisbahkan kepada Allah
menunjukkan makna yang pasti.
Kaidah 67: Bila alif lam masuk kepada kata yang diberi sifat (maushuf) maka
kata itu lebih tepat untuk sifat tersebut daripada kata lainnya.
Kaidah 68: Ism maushul menyatakan alasan hukum.
Kaidah 69: Suatu dhamir yang terdapat dalam suatu ayat yang mungkin
dikembalikan kepada lebih dari satu tempat kembali maka dhamir itu dapat
dikembalikan kepada semuanya.
Kaidah 70: Mudhaf dan mudhaf ilaih yang diikuti oleh sebuah dhamir maka
hukum asal dhamir tersebut dikembalikan kepada mudhaf.
Kaidah 71: Apabila ada dua hal yang disebutkan dan ada sebuah dhamir yang
mengikutinya maka dhamir tersebut dikembalikan kepada salah satunya karena
dipandang cukup.
Kaidah 72: Adakalanya dhamir mutsanna yang disebutkan setelah dua hal harus
dikembalikan kepada salah satu yang lebih kuat.
Kaidah 73: Bila beberapa dhamir disebutkan berurutan, maka hukum dasarnya
dikembalikan kepada satu tempat kembali.
Kaidah 74: Bila sebuah kata benda memiliki beberapa makna, maka makna kata
itu disesuaikan dengan konteksnya.
Kaidah 75: Sebagian kata benda dalam Al-Qur’an, bila disebut tersendiri,
mengandung makna umum yang cocok baginya, dan bila digabung dengan kata
lain, ia mencakup sebagian makna dari kata itu, dan makna yang lain
terkandung dalam kata lainnya itu.
Kaidah 76: Menjadikan dua kata berbeda makna lebih baik daripada bermakna
sama.
Kaidah 77: Meng-‘athf-kan lafaz umum kepada lafaz khusus untuk menunjukkan
keumuman makna dan menekankan pentingnya lafaz yang disebut pertama.
Kaidah 78: Meng-‘athf-kan lafaz khusus kepada lafaz umum untuk menekankan
bahwa lafaz khusus itu lebih utama dan lebih penting.
Kaidah 79: Suatu kata benda yang disifati dengan dua sifat yang berbeda maka
salah satu dari dua kata sifat itu boleh di-‘athf-kan kepada yang lain.
Kaidah 80: ‘Athf menuntut keberbedaan antara ma‘thuf dan ma‘thuf ‘alaih.
Kaidah 81: Menyambungkan kalimat nominal kepada kalimat verbal memberikan
makna kekekalan dan keabadian.
Kaidah 82: Setiap shifah yang lebih jauh dari bangunan kata kerjanya lebih
dalam maknanya.
Kaidah 83: Shifah bagi nakirah berfungsi mengkhususkan dan shifah bagi
ma‘rifah berfungsi menjelaskan.
Kaidah 84: Shifah yang terletak sesudah idhafah sedangkan mudhaf-nya kata
bilangan, dapat dikenakan kepada mudhaf atau kepada mudhaf ilaih.
Kaidah 85: Shifah yang khusus untuk perempuan, bila dimaksudkan dengannya
pekerjaan, diberi ta’ marbuthah, tetapi jika dimaksudkan dengannya
pembangsaan, tidak diberi ta’ marbuthah.
Kaidah 86: Semua bentuk shifah musyabbahah yang bermakna ism fa‘il, jika
dimaksud dengannya peristiwa atau sesuatu yang berubah-ubah, maka ia
dibentuk dengan pola fa‘il, dan jika tidak mengandung makna peristiwa dan
perubahan maka ia tetap pada pola asalnya.
Kaidah 87: Patokan dalam penyampaian pujian adalah dari shifah yang lebih
rendah kepada yang lebih tinggi, dan dalam mencela sebaliknya.
Kaidah 88: Bila sifat menempati satu tempat, hukum sifat itu kembali kepada
tempat itu, dan nama untuk tempat itu diambil dari sifat tersebut.
Kaidah 89: Tawkid meniadakan kemungkinan majaz.
Kaidah 90: Semakin besar persoalan, semakin banyak tawkid.
Kaidah 91: Pada dasarnya tawkid digunakan apabila yang disapa mengingkari
atau meragukan pesan.
Kaidah 92: Selama kata-kata Al-Qur’an dapat dibawa kepada ketidaksinoniman,
itu lebih baik.
Kaidah 93: Adakalanya satu masalah diungkapkan dengan dua kata. Pengungkapan
dengan cara demikian semakin memperkuat makna.
Kaidah 94: Makna yang tercipta dari gabungan dua kata sinonim tidak akan
diperoleh ketika masing-masing berdiri sendiri.
Kaidah 95: Sumpah hanya dinyatakan dengan nama-nama yang agung
Kaidah 96: Mereka-reka adanya sumpah dalam kitab Allah tanpa petunjuk yang
jelas, berarti menambah-nambah makna kitab Allah tanpa dalil.
Kaidah 97: Perintah (amr) yang bersifat mutlak menunjukkan wajib kecuali ada
dalil yang mengalihkannya.
Kaidah 98: Memerintahkan sesuatu memestikan pelarangan sebaliknya.
Kaidah 99: Amr menghendaki kesegeraan dilaksanakan kecuali ada petunjuk
lain.
Kaidah 100: Amr yang dikaitkan dengan syarat atau shifat menuntut
pengulangan.
Demikian artikel singkat berjudul "Kaidah Tafsir Khalid Usman Sabt" yang hanya
berisi 100 kaidah tafsir. Tentunya dalam kitabnya terdapat lebih dari 100
kaidah, bahkan lebih dari 200 kaidah tafsir. Semoga bermanfaat.
Wallahu a'lam...
0 Response to "Kaidah Tafsir Khalid Usman Sabt"
Posting Komentar
Terima kasih telah membaca artikel ini. Bila berkenan, Anda bisa tinggalkan komentar. Semoga komentar-komentar baik Anda diberi balasan oleh Allah...